Sabtu, 26 Maret 2016
Ketika Kejujuran Tak Dihargai

Kejujuran berasal dari kata jujur
yang berarti menyatakan sesuatu dengan sebenar-benarnya baik dalam lisan,
perbuatan, maupun hati kita layaknya iman. Karena tanpa adanya ketiga hal itu,
kita semua belum bisa dikatakan sebagai orang yang jujur.
“Wong jujur bakal mujur lan wong
jujur bakal makmur." Pepatah jawa itu harus kita tanamkan dalam diri kita dan
harus kita yakini dengan sepenuh hati. Karena orang zaman dulu lebih-lebih
orang Jawa, jika menyatakan sesuatu tidak pernah main-main ataupun kor
njeplak. Orang zaman dulu membuat pepatah dengan penuh ijtihad, khususnya
para wali.
Kejujuran adalah kunci kebenaran.
Jika kita mengawali sesuatu dengan jujur, pasti selanjutnya akan terus jujur. Namun,
jika kita mengawali sesuatu dengan kebohongan, selanjutnya pasti akan membawa
kebohongan yang lain.
Ada sebuah kisah pada zaman nabi
Muhammad SAW. Yaitu tentang seorang pemuda ahli maksiat yang mau bertaubat.
Semua hal jelek pernah dilakukan pemuda itu, mulai dari berzina, minum arak,
maling, dan perbuatan dosa lainnya.
Sebelum bertaubat, ia menemui
Rasulullah dan mengajukan sebuah persyaratan. Sebuah persyaratan yang harus
dipenuhi Rasullullah.
“Ya Rasul, aku bersedia bertaubat
dan menjadi umatmu asalkan semua kebiasaanku tidak kau larang. Dan kau hanya
boleh melarang satu hal.” kata pemuda itu.
Lalu Rasulullah menjawabnya,
“Saya tidak akan melarang sesuatu
darimu, kecuali satu hal, yaitu Jujur.”
Satu hal yang kelihatannya mudah dan tidak memberatkan pemuda itu untuk bertaubat.
Suatu hari ketika pemuda itu sudah
masuk Islam, ia ingin berzina. Sebelum berzina ia bertanya pada sahabat,
"Apakah hukumnya orang yang berzina?”
“Hukum orang yang berzina ialah dirajam 100
kali.”
Lalu pemuda itu berfikir, bagaimana
jika Rasulullah bertanya padaku tentang apa yang telah aku lakukan? Bagaimana
aku harus menjawabnya? Ia bingung dan akhirnya pun ia tidak jadi berzina karena
takut akan berbohong.
Pada hari lain pemuda itu ingin
mencuri. Ia bertanya,
“Apakah hukumnya mencuri itu? ”
“Hukum mencuri ialah dipotong
tangannya.”
Pemuda itupun berfikir kembali,
bagaimana jika Rasulullah bertanya padaku tentang apa yang telah aku lakukan?
Bagaimana aku harus menjawabnya?
Akhirnya ia tidak jadi mencuri dan
tidak pula melakukan perbuatan maksiat lain selamanya karena takut untuk berbohong pada Rasulullah. Masyaallah...
Dulu orang sangat takut berbohong
karena kejujuran sangat dihargai. Tapi sekarang hanya satu banding sejuta orang
yang mau menghargai kejujuran. Kejujuran sudah dilupakan, kejujuran telah
dibunuh oleh orang-orang yang mengikuti perkembangan zaman tanpa didasari dengan
iman. Kejujuran dikalahkan oleh uang.
Orang miskin kalah di persidangan karena hukum bisa dibeli dengan uang.
Kemenangan hanya milik orang yang memiliki kekayaan.
Bisa kita lihat beberapa kasus di Indonesia. Banyak hakim yang memasang tarif dan memperjual belikan hukum.
Padahal jelas-jelas agama kita telah memberikan ancaman dalam Al-Qur’an
terhadap hakim-hakim yang tidak jujur. Tapi ia menghiraukan Al-Qur’an. Ia
hanya mengutamakan kesenangan dunia yang bersifat fana.
Tidak hanya dibidang hukum, tapi
juga dibidang pendidikan. Anggaran pendidikan menjadi proyek para tikus-tikus kantor.
Dari tingkat bawah sampai ke tingkat yang paling atas. Guru-guru hanya menghargai nilai,
mengabaikan proses, mengabaikan kemampuan siswa. Guru tidak menilai kejujuran.
Guru hanya menilai hasil ulangan yang jelas-jelas terjadi banyak kecurangan. Mereka
itu bukan guru, mereka hanya orang-orang yang bertopeng guru yang mengajarkan
kemunafikan. Meskipun masih ada seratus banding satu guru yang sangat
mementingkan kejujuran dan kemampuan.
Itulah yang mungkin menjadi alasan
orang untuk mencontek dan mengabaikan kejujuran. Alasan orang-orang yang tidak
mempertebal tembok iman dan tidak paham makna kejujuran. Naudzubillah...
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar